“aims to form leaders in service, in imitation of Christ Jesus, men and women of competence, conscience and compassionate commitment."

Google Search

Custom Search

Friday 17 December 2010

Thursday 16 December 2010

Catatan kecil PPI di Semarang

Paradigma Pedagogi Ignatian pada dasarnya meliputi 5 hal: Konteks, Pengalaman, Refleksi, Aksi, dan Evaluasi. Kelima hal tersebut hendaknya menjadi suatu pembiasaan sikap yang akhinya menjadi sebuah habit bagi siapa saja yang menjadi warga kolese. Paradigma Pedagogi Ignatian sangat relevan dalam semua aspek kehidupan, terlebih dalam institusi pendidikan.
Paradigma Pedagogi Ignatian merupakan suatu pendidikan untuk menumbuh kembangkan sikap batin siswa agar mampu melihat kebaikan Allah dalam diri sendiri, sesama, dan lingkungan hidupnya. Kebaikan Allah dalam diri siswa sendiri merupakan anugerah Allah yaitu hidup beserta potensi-potensinya guna mengembangkan diri menjadi manusia utuh. Kebaikan Allah dalam diri siswa itu pun dianugerahkan Allah kepada sesamanya meskipun ada perbedaan-perbedaan. Perbedaan-perbedaan itu justru dimaksudkan Allah untuk saling melengkapi dan saling membantu “man and women for and with other”.
Dengan menyadari kebaikan-kebaikan Allah itu, diharapkan siswa dapat mengalami cinta Tuhan dan dapat pula menanggapi cinta Tuhan itu dengan mencintai-Nya pula. Mencintai Tuhan berarti mencintai diri, sesama, dan lingkungan hidupnya, yang terungkap dalam sikap dan tingkah laku selama hidupnya. Dari tumbuhnya sikap ini diharapkan para siswa semakin terkondisi untuk bergaul dan bekerjasama dengan sesama maupun alam lingkungan, sehingga tidak mudah merugikan sesama dan merusak lingkungan hidup demi kepentingannya sendiri. Mereka dikondisikan untuk melihat ”yang lain”, entah itu manusia atau alam lingkungan semata-mata tidak hanya dipandang sebagai subyek yang bisa semaunya ”dipakai”, ”diinjak-injak”, atau ”dicampakkan” begitu saja. Diharapkan dari kemampuan melihat ”yang lain” sebagai ”subyek” bukan “obyek” semata. Mereka (siswa) diharapkan mampu pula bergaul dan bekerjasama dengan yang lain dalam suasana dan terwujudnya persaudaraan sejati.
Dalam Pedagogi Ignatian, guru tidak memaksakan tata pikirnya sendiri, melainkan memberi kebebasan kepada siswa untuk mengungkapkan dan merefleksikan pengalaman mereka masing-masing. Guru tidak semata-mata sebagai pengajar (transfer ilmu) belaka, melainkan juga berfungsi sebagai fasilitator yang menciptakan kelas menjadi tempat terjadinya komunikasi iman dan sharing pengalaman hidup antar guru-siswa, dan juga siswa-siswa. Semangat 3 C (Competence, Conscience, Compassion) merupakan semangat yang harus dihidupi demi pencapaian pribadi siswa yang matang dan dewasa yang selalu ingin belajar dan mengembangkan diri terus menerus. Relasi awam-jesuit yang “mesra” akan mampu mendukung semuanya ini berjalan dengan baik dan semestinya, dan kata kunci untuk menciptakan “kemesraan” itu adalah kerendahan hati dan komunikasi.

"nguwongke"

by Albertus Henny Setyawan on Sunday, February 7, 2010 at 7:36pm

"nguwongke"(bhs jawa)........dari kata "uwong" (manusia), sepenangkapku "nguwongke" = memanusiakan manusia.
"nguwongke" tak sebatas hanya; menyapa, memberi senyum, ngobrol tetapi lebih dari itu; menyapa, memberi senyum dan mau berbincara dengan "hati".
tiap manusia berbeda-beda, tak ada yang sama. maka dalam rangka "nguwongke" orang lain ada ke-khasan yang memang harus kita pahami dan sadari, bahwa pada si-A, si-B, atau si-C aku belum tentu bisa menggunakan cara/pola pendekatan yang sama.
Setiap diantara kita ingin diakui keberadaannya, dan bukan hanya sebatas pengakuan palsu tentunya. setiap diantar kita ingin hidup nyaman (lahir maupun bathin), setiap diantara kita pasti ingin mendapatkan dan merasakan "dicintai" secara tulus, dan terlebih setiap diantara kita pasti ingin dimengerti.
lekatnya "label-label diri" menyebabkan sulitnya untuk dapat "nguwongke" orang lain, selain itu dewasa ini makin sering orang suka "me-manipulasi diri" untuk orang lain. jika dalam ilmu pengetahuan manusia bangga dengan keberhasilannya memanipulasi gen, demikian juga orang tanpa dia sadari merasa "bangga" dengan "manipulasi diri" yang dia lakukan. tanpa disadari bahwa dengan "memanipulasi diri" orang tidak lagi "nguwongke" orang lain, orang tidak lagi "otentik".
ada bentuk simbiosis mutualisme diantara manusia. manusia akan merasa diakui jika dia mampu mengakui orang lain, manusia akan merasa nyaman jika ia pun mampu menciptakan suasana nyaman untuk orang lain, dan manusia ingin dicintai, jika ia mampu memberikan cinta untuk orang lain. karena label-label diri maka tanpa disadari ke-egoisan kitalah yang dominan. yang terjadi kemudian hanyalah "tuntutan" bagi orang lain untuk;......., ....., ....., ....., dan ....... .
marilah belajar untuk dapat "nguwongke" orang lain dengan lebih "otentik" bukan lagi karena "manipulasi-manipulasi diri" atau karena lekatnya "label-label diri" yang menempel pada diri.

albertus henny setyawan

character assassination (Pembunuhan Karakter)

character assassination (Pembunuhan Karakter)

Bukan rahasia ketika dengan mudahnya dahulu Ir. Soekarno dimasukkan ke tahanan karena terlibat G30S, kudeta untuk dirinya sendiri, atau Soeharto sendiri dengan KKNnya, banyak sekali jebakan dan pembunuhan karakter digunakan untuk menjebloskan seseorang ke penjara atau mengakhiri kariernya yang cemerlang. Gus Dur, Megawati, Habibie masing-masing juga telah mengalaminya, siapa yang melakukannya tentunya dengan bantuan kekuasaan dan invisible hand yang rapi dan halus sehingga semua orang bisa mengiyakan dan menyetujuinya. Sehingga banyak gejolak dapat ditekan meskipun dengan jargon-jargon pendukung untuk keamanan de el el.

Salah satu cara untuk berkompetisi dan memenangkannya adalah dengan mengetahui character lawan, ciri-ciri, timing dan kelemahannya. Jika sudah mendapatkannya maka dengan perjuangan dan usaha tertentu mungkin akan dengan cepat mendapatkan simpati dari para penilai ataupun dukungan dari pemberi suara atau masyarakat banyak. Disamping tentunya dengan kompensasi-kompensasi tertentu atas prestasi maupun kuota untuk bisa memenangkannya. Seperti ketika saat ini dimana jumlah suara tak terpakai mencapai jumlah 17 juta, dan total jumlah suara golput sendiri malah mencapai 67 juga suara, betapa sebenarnya bisa digunakan untuk mencopot sebuah kekuasaan yang pongah karena tidak mau tahu berapa jumlah orang yang sudah tidak respek dengan mereka. Angka tersebut nyata dan benar-benar ada serta terdokumentasi, namun karena kepala batu dan nikmat yang lainnya maka jumlah sebanyak itu menjadi layak untuk dihiraukan saja, dan dengan tekanan-tekanan tertentu sehingga orang ketakutan untuk membicarakannya.

Cara-cara dengan metode Character assasination (pembunuhan karakter - terjemahan ngawurnya) meskipun sangat keji dan mencerminkan keputusasaan karena hingga menggunakan cara ini memang sangat telak sekali efeknya, hingga yang kena bisa dikatakan 'modyar cocote', mati kutu atau apapun sulit digambarkan. Tidak terbayangkan ketika belajar merangkak dari bawah hingga menemukan teori-teori pengembangan diri misalnya bagaimana membangun 'brand image' dan lain sebagainya agar bisa menarik perhatian, menonjolkan diri dengan citra diri yang positif sehingga bisa diterima dimanapun oleh siapapun sehingga produk ide dan gagasan brilian itu bisa diterima secara terbuka, juga karier yang diperjuangkan sampai ke jabatan-jabatan berpengaruh tertentu, tentunya dengan perjuangan keras, pengorbanan dan lain sebagainya yang ndak kehitung jika dirupiahkan. Namun akan hancur dalam beberapa detik saja ketika melakukan sebuah kesalahan dan ditangkap oleh pihak tertentu untuk kemudian dimanfaatkan membunuh karakternya yang selama ini dibanggakan, bener-bener modyar cocote.

Meski kadang geram dengan pendidikan di negeri begajul, masih ada baiknya juga ketika masih ada nafsu untuk bisa apa saja, dimana semua mata ajar diberikan, tidak seperti di negeri lainnya yang sudah sejak tingkat dasar membebaskan peserta ajar untuk mengambil mata ajar yang disukainya dan akan menjadi spesialisasinya, meskipun menang dalam akselerasinya biasanya umur 24 tahun di US sudah bisa kuliah di S3, bayangkan saja. Mengapa berkaitan dengan brand image dan citra diri, dengan memiliki bekal pengetahuan yang beragam maka akan dapat kita menguasai banyak keahlian tertentu, tidak musti satu saja, sehingga sangat sulit mematikan karakter orang-orang biasa yang memiliki multi skill dan kemampuan. Efek lain hanyalah biasanya adalah kebingungan menentukan satu saja karakter yang digunakannya untuk berkehidupan, namun memang sejak dahulu sudah dididik dengan multi wajah sehingga bisa ditempatkan dimanapun.

Begitulah meski di negeri begajul banyak ragam isinya, namun dalam diri masing-masing pribadi pun ada banyak sekali ragam yang bisa diolah, mungkin ini sebuah sistem pertahanan ego atau apakah sekedar sebuah debat kusir. Banyak sekali jelata multi talenta disini, dan harus memeras otak juga untuk bisa membunuh karakter seseorang terkecuali dengan masalah sosial ataupun politik yang kadan malah sederhana atau diluar nalar sama sekali. Seperti kasus pencurian, perselingkuhan, usia, kekurangan fisik dan lainnya yang malah yang ringan dan yang lucu. Demikianlah negeri begajul yang sedang mencari cinta sejatinya meski sudah mengalami puber yang kesekian kalinya, masih saja para pelamarnya menggunakan character assasination untuk saling melumpuhkan, tidak ada bedanya dengan acara para warga yang ketika nganggur dan kumpul-kumpul di depan rumah membicarakan masing-masing tetangga dengan masing-masing kejelekannya sendiri-sendiri, lupa membicarakan betapa kemiskinan ini adalah sesuatu yang diwajibkan karena untuk membayar hutang yang kian menumpuk...

disadur dari http://www.suryaden.com/content/character-assassination