“aims to form leaders in service, in imitation of Christ Jesus, men and women of competence, conscience and compassionate commitment."

Google Search

Custom Search

Thursday 28 April 2011

Komunikasi: antara mencari kebenaran dan ego diri


Komunikasi dalam kamus bahasa Indonesia berarti; pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan yg dimaksud dapat dipahami. komunikasi satu arah terjadi ketika komunikan (pemberi informasi), memberikan informasi kepada komunikator (penerima informasi) saja, tetapi tidak sebaliknya. Sedangkan komunikasi dua arah terjadi ketika komunikan (pemberi informasi) dan komunikatornya (penerima informasi) saling bergantian memberikan informasi.  Di jaman modern ini, media komunikasi berkembang pesat. Kita dengan mudah bertukar informasi dengan orang lain walaupun tidak berada di satu tempat dan bertatap muka langsung. Mulai dari surat, handphone, HT, koran, televisi dan lain-lain, itu semua menjadi suatu sarana untuk mengkomunikasikan/ menuangkan ide/ gagasan.
Seharusnya dengan kemajuan media komunikasi tersebut di atas, mampu menjembatani manusia untuk dapat saling berkomunikasi dengan lebih baik. Tetapi apa yang terjadi? Di dunia ini masih saja banyak terjadi pertikaian, bahkan perang. Ternyata semakin canggih media/ sarana komunikasi yang ada tak menjamin komunikasi menjadi semakin lebih baik. Kembali lagi bahwa sarana komunikasi  itu memang hanya sebatas “sarana”.
Komunikasi yang baik akan terjadi tidak semata-mata terletak pada kecanggihan sarananya, tetapi yang lebih mendasar adalah “kemauan, niat baik dan kerendahan hati”. Untuk berkomunikasi harus ada sebuah kemauan bukan keterpaksaan, harus juga ada niat baik bukan intrik, dan harus ada kerendahan hati bukan kesombongan. Pastilah  sebuah komunikasi akan berlangsung baik jika semua dimulai dengan sebuah kemuan untuk “mau” berkomunikasi, dengan dasar “niat baik”  dan “kerendahan hati” pada diri komunikan dan komunikator.
Memulai sebuah komunikasi tidaklah sukar, bisa dikatakan asalkan ada kemauan. Mau memulai, mau membuka diri, mau mendengarkan, dan harus juga mau mengakui, mungkin kita salah dan orang lain-lah yang benar.
Kiranya syarat terjadinya komunikasi yang baik di atas, berlaku untuk semua jenis komunikasi yang dilakukan antar manusia, entah itu antara suami dan istri, orang tua dan anak, pimpinan dan bawahan, bahkan antara dua orang yang baru bertemu di tengah jalan sekalipun. Andaikan manusia mampu mengendalikan ego-nya, pastilah tak ada komunikasi yang macet. Tak ada orang yang mengatakan “dia  susah untuk diajak bicara”, “susah bener ngomong sama dia”, “nggak ada gunanya ngomong sama kamu” dan lain sebagainya.
Kesulitan dalam berkomunikasi mungkin dipengaruhi oleh banyak hal. Ego, ketika komunikasi dibangun dengan dasar ego, yang terjadi adalah komunikasi satu arah dan untuk selanjutnya tak lebih yang muncul adalah: dominasi, instruksional, penghakiman yang seringkali berakhir pada “pematian karakter” lawan bicara. Mengapa ini terjadi? Seringkali orang lebih mudah menerima informasi dangkal daripada harus mencari informasi yang sebenarnya karena memerlukan penggalian dan kerendahan hati untuk mencari tahu. Hanya karena “katanya” maka orang bisa dengan mudah menilai orang lain seperti apa yang dikatakannya tersebut.
Mari kita belajar berkomunikasi yang baik, sehat dan proporsional. Komunikasi yang dibangun berlandaskan atas dasar saling percaya, kasih, demi pencapaian keselarasan ide/ gagasan. Ternyata kita memang harus lebih banyak dan berani untuk “belajar” berkomunikasi.
Jumat, 29 April 2011, Albertus Henny Setyawan

Wednesday 16 February 2011

Lima Karakteristik Pendidikan Jesuit

Karakteristik pertama dari pendidikan Jesuit adalah hasrat dan kehendak yang besar untuk berkualitas. Keunggulan akademis sangatlah penting. Ini tidak berarti bahwa institusi pendidikan Jesuit tidak memiliki kelemahan dalam program-program pendidikannya tetapi lebih berarti bahwa setiap institusi pendidikan Jesuit selalu memiliki arah untuk mengusahakan pendidikan yang baik, dan disegani oleh pelaku di dunia pendidikan. Keunggulan akademis berarti juga adalah pelayanan yang berorientasi pada kualitas, karena dengan demikian institusi pendidikan kita menerapkan standar yang tinggi baik untuk siswa dan para guru.

Karakter kedua dari pendidikan Jesuit adalah dikembangkannya ilmu-ilmu humaniora dan ilmu pengetahuan (sains) di dalam setiap bidang dan spesialisasi. Insititusi pendidikan Jesuit ingin agar setiap peserta didiknya bisa berpikir, berbicara dan menulis; memahami sejarah, sastra dan juga seni budaya; membantu agar cakrawala berpikir mereka diperkaya dengan pemahaman yang diinspirasikan dari filsafat dan teologi; dan di satu sisi memahami matematika dan ilmu pengetahuan. Institusi pendidikan Jesuit mau agar para peserta didik dapat dipersiapkan dan siap untuk hidup mandiri dan bekerja. Pendidikan yang demikian semakin penting dewasa ini di tengah-tengah tuntutan yang tinggi dalam penguasaan teknologi. Kita membutuhkan sarjana teknik yang bisa mengapresiasi karya sastra dan ahli komputer yang memahami sejarah dan akar-akar peradaban dunia dan manusia.

Karakter ketiga dalam pendidikan Jesuit adalah dorongan terus menerus untuk mencari jawab atas problem-problem etika dan sistem nilai hidup baik dalam level personal maupun dalam konteks dunia kerja para lulusannya. Nilai-nilai keluarga, integritas pribadi, dan etika bisnis selalu menjadi pokok yang penting bagi institusi pendidikan Jesuit. Institusi Jesuit haruslah mengajak peserta didiknya untuk memahami dan mencari jawab atas problem-problem ekonomi, rasisme, perdamaian dan peperangan, kemiskinan dan penindasan serta problem-problem ketidakadilan.

Karakter keempat dari pendidikan Jesuit adalah pentingnya untuk mengembangkan pengalaman iman dan hidup rohani terlebih bagi peserta didik katolik. Namun demikian di era ekumenisme jaman ini, pengembangan iman dan hidup rohani tentunya terbuka untuk siapa saja. Pengalaman iman dan hidup rohani sangatlah penting dalam pengembangan pribadi yang integral, oleh sebab itu perlu diintegrasikan dalam proses pendidikan agar peserta didik memiliki kesempatan untuk tumbuh dan berkembang baik dalam pengetahuan dan iman.

Karakteristik kelima dari pendidikan Jesuit adalah perhatian kepada pribadi. Bagaimanapun besar dan kompleksnya permasalahan dalam sebuah institusi pendidikan Jesuit, perhatian dan pendampingan pribadi peserta didik adalah hal yang sangat penting. Peserta didik perlu mendapat perhatian dan sapaan yang manusiawi dalam konteks pengembangan dirinya secara integral baik di dalam maupun di luar kelas, secara akademis maupun non-akademis. Pendampingan dan perhatian macam ini, yang dilakukan oleh pendidik, karyawan, maupun pimpinan sekolah merupakan sesuatu yang diyakini lebih dari sekedar tugas, bahkan lebih dari sebuah profesi. Perhatian dan pendampingan terhadap pribadi peserta didik adalah sebuah panggilan. Panggilan sebagai pendidik dalam institusi pendidikan Jesuit mendapatkan identitasnya secara nyata pada sejauh mana para pendidik memiliki semangat pantang menyerah, passion atau hasrat untuk menyapa, memperhatikan tumbuhnya pribadi peserta didik secara integral dalam berbagai aspek kegiatan dan juga tantangan-tantangan dinamika anak didik jaman ini, bukan sekedar datang, mengajar, menilai, dapat duit dan pulang. Menjadi pendidik di Kolese Jesuit tidaklah sama seperti menjadi guru les atau karyawan kantor/perusahaan. Panggilan menjadi pendidik tentunya didasari akan adanya kecintaan terhadap peserta didik, kecintaan terhadap kaum muda yang kita dampingi dengan harapan dan optimisme besar supaya mereka bisa tumbuh mengembangkan potensi dirinya menjadi pribadi yang bertanggungjawab, berkomitmen, kompeten, berhati nurani dan berkepedulian sosial. Tanpa adanya kesadaran akan panggilan ini, karakteristik pendidikan Jesuit di sebuah kolese akan kehilangan gregetnya.

(Tulisan ini disadur bebas dari “Five Traits of Jesuit Education” oleh Robert A. Mitchell, SJ, Boston College Magazine, 1988, dalam Jesuit Education Reader, 2008 oleh Augustinus Widyaputranto, SJ & dari http://www.ignatiusloyola.net/)

Friday 17 December 2010

Thursday 16 December 2010

Catatan kecil PPI di Semarang

Paradigma Pedagogi Ignatian pada dasarnya meliputi 5 hal: Konteks, Pengalaman, Refleksi, Aksi, dan Evaluasi. Kelima hal tersebut hendaknya menjadi suatu pembiasaan sikap yang akhinya menjadi sebuah habit bagi siapa saja yang menjadi warga kolese. Paradigma Pedagogi Ignatian sangat relevan dalam semua aspek kehidupan, terlebih dalam institusi pendidikan.
Paradigma Pedagogi Ignatian merupakan suatu pendidikan untuk menumbuh kembangkan sikap batin siswa agar mampu melihat kebaikan Allah dalam diri sendiri, sesama, dan lingkungan hidupnya. Kebaikan Allah dalam diri siswa sendiri merupakan anugerah Allah yaitu hidup beserta potensi-potensinya guna mengembangkan diri menjadi manusia utuh. Kebaikan Allah dalam diri siswa itu pun dianugerahkan Allah kepada sesamanya meskipun ada perbedaan-perbedaan. Perbedaan-perbedaan itu justru dimaksudkan Allah untuk saling melengkapi dan saling membantu “man and women for and with other”.
Dengan menyadari kebaikan-kebaikan Allah itu, diharapkan siswa dapat mengalami cinta Tuhan dan dapat pula menanggapi cinta Tuhan itu dengan mencintai-Nya pula. Mencintai Tuhan berarti mencintai diri, sesama, dan lingkungan hidupnya, yang terungkap dalam sikap dan tingkah laku selama hidupnya. Dari tumbuhnya sikap ini diharapkan para siswa semakin terkondisi untuk bergaul dan bekerjasama dengan sesama maupun alam lingkungan, sehingga tidak mudah merugikan sesama dan merusak lingkungan hidup demi kepentingannya sendiri. Mereka dikondisikan untuk melihat ”yang lain”, entah itu manusia atau alam lingkungan semata-mata tidak hanya dipandang sebagai subyek yang bisa semaunya ”dipakai”, ”diinjak-injak”, atau ”dicampakkan” begitu saja. Diharapkan dari kemampuan melihat ”yang lain” sebagai ”subyek” bukan “obyek” semata. Mereka (siswa) diharapkan mampu pula bergaul dan bekerjasama dengan yang lain dalam suasana dan terwujudnya persaudaraan sejati.
Dalam Pedagogi Ignatian, guru tidak memaksakan tata pikirnya sendiri, melainkan memberi kebebasan kepada siswa untuk mengungkapkan dan merefleksikan pengalaman mereka masing-masing. Guru tidak semata-mata sebagai pengajar (transfer ilmu) belaka, melainkan juga berfungsi sebagai fasilitator yang menciptakan kelas menjadi tempat terjadinya komunikasi iman dan sharing pengalaman hidup antar guru-siswa, dan juga siswa-siswa. Semangat 3 C (Competence, Conscience, Compassion) merupakan semangat yang harus dihidupi demi pencapaian pribadi siswa yang matang dan dewasa yang selalu ingin belajar dan mengembangkan diri terus menerus. Relasi awam-jesuit yang “mesra” akan mampu mendukung semuanya ini berjalan dengan baik dan semestinya, dan kata kunci untuk menciptakan “kemesraan” itu adalah kerendahan hati dan komunikasi.

"nguwongke"

by Albertus Henny Setyawan on Sunday, February 7, 2010 at 7:36pm

"nguwongke"(bhs jawa)........dari kata "uwong" (manusia), sepenangkapku "nguwongke" = memanusiakan manusia.
"nguwongke" tak sebatas hanya; menyapa, memberi senyum, ngobrol tetapi lebih dari itu; menyapa, memberi senyum dan mau berbincara dengan "hati".
tiap manusia berbeda-beda, tak ada yang sama. maka dalam rangka "nguwongke" orang lain ada ke-khasan yang memang harus kita pahami dan sadari, bahwa pada si-A, si-B, atau si-C aku belum tentu bisa menggunakan cara/pola pendekatan yang sama.
Setiap diantara kita ingin diakui keberadaannya, dan bukan hanya sebatas pengakuan palsu tentunya. setiap diantar kita ingin hidup nyaman (lahir maupun bathin), setiap diantara kita pasti ingin mendapatkan dan merasakan "dicintai" secara tulus, dan terlebih setiap diantara kita pasti ingin dimengerti.
lekatnya "label-label diri" menyebabkan sulitnya untuk dapat "nguwongke" orang lain, selain itu dewasa ini makin sering orang suka "me-manipulasi diri" untuk orang lain. jika dalam ilmu pengetahuan manusia bangga dengan keberhasilannya memanipulasi gen, demikian juga orang tanpa dia sadari merasa "bangga" dengan "manipulasi diri" yang dia lakukan. tanpa disadari bahwa dengan "memanipulasi diri" orang tidak lagi "nguwongke" orang lain, orang tidak lagi "otentik".
ada bentuk simbiosis mutualisme diantara manusia. manusia akan merasa diakui jika dia mampu mengakui orang lain, manusia akan merasa nyaman jika ia pun mampu menciptakan suasana nyaman untuk orang lain, dan manusia ingin dicintai, jika ia mampu memberikan cinta untuk orang lain. karena label-label diri maka tanpa disadari ke-egoisan kitalah yang dominan. yang terjadi kemudian hanyalah "tuntutan" bagi orang lain untuk;......., ....., ....., ....., dan ....... .
marilah belajar untuk dapat "nguwongke" orang lain dengan lebih "otentik" bukan lagi karena "manipulasi-manipulasi diri" atau karena lekatnya "label-label diri" yang menempel pada diri.

albertus henny setyawan

character assassination (Pembunuhan Karakter)

character assassination (Pembunuhan Karakter)

Bukan rahasia ketika dengan mudahnya dahulu Ir. Soekarno dimasukkan ke tahanan karena terlibat G30S, kudeta untuk dirinya sendiri, atau Soeharto sendiri dengan KKNnya, banyak sekali jebakan dan pembunuhan karakter digunakan untuk menjebloskan seseorang ke penjara atau mengakhiri kariernya yang cemerlang. Gus Dur, Megawati, Habibie masing-masing juga telah mengalaminya, siapa yang melakukannya tentunya dengan bantuan kekuasaan dan invisible hand yang rapi dan halus sehingga semua orang bisa mengiyakan dan menyetujuinya. Sehingga banyak gejolak dapat ditekan meskipun dengan jargon-jargon pendukung untuk keamanan de el el.

Salah satu cara untuk berkompetisi dan memenangkannya adalah dengan mengetahui character lawan, ciri-ciri, timing dan kelemahannya. Jika sudah mendapatkannya maka dengan perjuangan dan usaha tertentu mungkin akan dengan cepat mendapatkan simpati dari para penilai ataupun dukungan dari pemberi suara atau masyarakat banyak. Disamping tentunya dengan kompensasi-kompensasi tertentu atas prestasi maupun kuota untuk bisa memenangkannya. Seperti ketika saat ini dimana jumlah suara tak terpakai mencapai jumlah 17 juta, dan total jumlah suara golput sendiri malah mencapai 67 juga suara, betapa sebenarnya bisa digunakan untuk mencopot sebuah kekuasaan yang pongah karena tidak mau tahu berapa jumlah orang yang sudah tidak respek dengan mereka. Angka tersebut nyata dan benar-benar ada serta terdokumentasi, namun karena kepala batu dan nikmat yang lainnya maka jumlah sebanyak itu menjadi layak untuk dihiraukan saja, dan dengan tekanan-tekanan tertentu sehingga orang ketakutan untuk membicarakannya.

Cara-cara dengan metode Character assasination (pembunuhan karakter - terjemahan ngawurnya) meskipun sangat keji dan mencerminkan keputusasaan karena hingga menggunakan cara ini memang sangat telak sekali efeknya, hingga yang kena bisa dikatakan 'modyar cocote', mati kutu atau apapun sulit digambarkan. Tidak terbayangkan ketika belajar merangkak dari bawah hingga menemukan teori-teori pengembangan diri misalnya bagaimana membangun 'brand image' dan lain sebagainya agar bisa menarik perhatian, menonjolkan diri dengan citra diri yang positif sehingga bisa diterima dimanapun oleh siapapun sehingga produk ide dan gagasan brilian itu bisa diterima secara terbuka, juga karier yang diperjuangkan sampai ke jabatan-jabatan berpengaruh tertentu, tentunya dengan perjuangan keras, pengorbanan dan lain sebagainya yang ndak kehitung jika dirupiahkan. Namun akan hancur dalam beberapa detik saja ketika melakukan sebuah kesalahan dan ditangkap oleh pihak tertentu untuk kemudian dimanfaatkan membunuh karakternya yang selama ini dibanggakan, bener-bener modyar cocote.

Meski kadang geram dengan pendidikan di negeri begajul, masih ada baiknya juga ketika masih ada nafsu untuk bisa apa saja, dimana semua mata ajar diberikan, tidak seperti di negeri lainnya yang sudah sejak tingkat dasar membebaskan peserta ajar untuk mengambil mata ajar yang disukainya dan akan menjadi spesialisasinya, meskipun menang dalam akselerasinya biasanya umur 24 tahun di US sudah bisa kuliah di S3, bayangkan saja. Mengapa berkaitan dengan brand image dan citra diri, dengan memiliki bekal pengetahuan yang beragam maka akan dapat kita menguasai banyak keahlian tertentu, tidak musti satu saja, sehingga sangat sulit mematikan karakter orang-orang biasa yang memiliki multi skill dan kemampuan. Efek lain hanyalah biasanya adalah kebingungan menentukan satu saja karakter yang digunakannya untuk berkehidupan, namun memang sejak dahulu sudah dididik dengan multi wajah sehingga bisa ditempatkan dimanapun.

Begitulah meski di negeri begajul banyak ragam isinya, namun dalam diri masing-masing pribadi pun ada banyak sekali ragam yang bisa diolah, mungkin ini sebuah sistem pertahanan ego atau apakah sekedar sebuah debat kusir. Banyak sekali jelata multi talenta disini, dan harus memeras otak juga untuk bisa membunuh karakter seseorang terkecuali dengan masalah sosial ataupun politik yang kadan malah sederhana atau diluar nalar sama sekali. Seperti kasus pencurian, perselingkuhan, usia, kekurangan fisik dan lainnya yang malah yang ringan dan yang lucu. Demikianlah negeri begajul yang sedang mencari cinta sejatinya meski sudah mengalami puber yang kesekian kalinya, masih saja para pelamarnya menggunakan character assasination untuk saling melumpuhkan, tidak ada bedanya dengan acara para warga yang ketika nganggur dan kumpul-kumpul di depan rumah membicarakan masing-masing tetangga dengan masing-masing kejelekannya sendiri-sendiri, lupa membicarakan betapa kemiskinan ini adalah sesuatu yang diwajibkan karena untuk membayar hutang yang kian menumpuk...

disadur dari http://www.suryaden.com/content/character-assassination